Fenomena ini muncul di tengah euforia pemulihan ekonomi pascapandemi dan klaim pemerintah soal pertumbuhan yang “stabil”. Namun, lonjakan PHK justru menjadi alarm bahaya tentang rapuhnya sektor ketenagakerjaan Indonesia.
Apakah ini hanya badai sesaat yang akan berlalu? Atau ini
tanda retaknya fondasi ekonomi nasional yang terlalu bergantung pada sektor
padat karya dan konsumsi?
Meningkatnya PHK dan Efek Domino Sosial
PHK massal bukan sekadar statistik dingin di meja
birokrat. Setiap angka mewakili keluarga yang kehilangan penghasilan, anak-anak
yang terancam putus sekolah, hingga potensi bertambahnya jumlah penduduk
miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa setiap satu pekerja
yang di PHK berdampak pada 3 hingga 4 anggota keluarga. Artinya, lebih dari 150
ribu orang turut merasakan efek domino dari lonjakan PHK di semester pertama
2025 ini.
Sektor manufaktur padat karya, seperti tekstil, garmen,
dan alas kaki, menjadi yang paling banyak melakukan PHK. Industri ini selama
bertahun-tahun menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja formal, namun
kini dihantam turunnya permintaan ekspor dari Amerika Serikat dan Eropa. Inflasi
tinggi di negara-negara tersebut membuat konsumsi menurun tajam, sementara
industri Indonesia yang bergantung pada pesanan luar negeri terkena imbas
langsung.
Sektor teknologi pun tak luput. Fenomena “tech winter”
yang melanda dunia juga menyentuh Indonesia. Sejumlah startup besar mengumumkan
pemangkasan karyawan sebagai respons atas anjloknya pendanaan modal ventura.
Di Jakarta, Andri (35), mantan pekerja garmen, mengaku
kebingungan mencari pekerjaan baru setelah pabrik tempatnya bekerja tutup awal
Juni. “Pabrik bilang order dari Eropa turun. Kami cuma disuruh pulang tanpa
pesangon yang layak,” ujarnya kepada Kompas. Kisah serupa terjadi di
banyak kota industri lain seperti Bandung, Semarang, dan Batam.
Akar Masalah: Badai Eksternal atau Rapuhnya Struktur?
Pemerintah menyebut melemahnya permintaan global sebagai
biang keladi. Memang benar, faktor eksternal seperti perang Rusia-Ukraina yang
berlarut-larut, inflasi global, dan pelemahan yuan China turut menekan industri
ekspor Indonesia. Namun, di balik itu ada masalah domestik yang bersifat
struktural.
Ekonomi Indonesia terlalu bergantung pada sektor padat
karya dengan nilai tambah rendah. Ketika terjadi guncangan global,
perusahaan-perusahaan sektor ini rentan melakukan PHK massal karena
keterbatasan modal kerja. Selain itu, otomatisasi dan percepatan digitalisasi
pascapandemi membuat ribuan pekerjaan menjadi usang, sementara program reskilling
pemerintah masih minim.
Studi Bank Dunia (2024) menyebutkan bahwa 60% tenaga
kerja Indonesia belum memiliki keterampilan digital dasar. Ini berarti
mayoritas pekerja tidak siap menghadapi perubahan teknologi industri. Sementara
itu, Undang-Undang Cipta Kerja yang diharapkan menyerap tenaga kerja justru
menuai kritik. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut fenomena
PHK ini sebagai “buah pahit fleksibilitas tenaga kerja” yang terlalu memihak
pengusaha.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah yang melemah 8% terhadap
dolar AS sepanjang semester pertama 2025 membuat biaya impor bahan baku
meningkat. Banyak perusahaan kecil menengah tak sanggup menahan beban ini,
sehingga PHK menjadi jalan pintas untuk bertahan hidup.
Belajar dari Negara Lain
Vietnam, pesaing utama Indonesia di sektor manufaktur,
menunjukkan bahwa gelombang PHK bisa diredam dengan kebijakan strategis.
Pemerintah Vietnam memberikan insentif pajak kepada perusahaan yang
mempertahankan karyawan. Thailand menerapkan skema “work-sharing”, di mana
pemerintah menanggung sebagian gaji karyawan untuk mencegah pemecatan massal.
Sementara itu, Jerman melalui program Kurzarbeit
memberikan subsidi upah kepada perusahaan agar tetap mempertahankan pekerja
meski jam kerja dikurangi. Program ini terbukti menjaga stabilitas sosial saat
krisis finansial 2008 dan pandemi COVID-19.
Indonesia, sayangnya, masih terjebak dalam siklus reaktif:
mengandalkan jaminan sosial minimal dan berharap situasi global segera membaik.
Saatnya Kebijakan Progresif
Untuk mencegah lonjakan pengangguran di semester kedua,
pemerintah perlu meluncurkan paket kebijakan menyeluruh:
- Program Reskilling NasionalMengalokasikan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pelatihan ulang pekerja, terutama di sektor rawan PHK. Fokus pada keterampilan digital, industri ramah lingkungan, dan ekonomi kreatif.
- Subsidi Gaji atau Skema Work-SharingAdopsi model Thailand atau Jerman untuk menjaga pekerja tetap memiliki penghasilan meski jam kerja dipangkas.
- Insentif Pajak dan Kredit MurahBerikan keringanan pajak bagi perusahaan yang tidak melakukan PHK serta akses kredit murah untuk modal kerja, terutama di industri strategis.
- Perluasan Jaring Pengaman SosialPerkuat BPJS Ketenagakerjaan dan program bansos agar pekerja terdampak memiliki waktu untuk mencari pekerjaan baru tanpa jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem.
Momentum Reformasi atau Lingkaran Krisis?
Lonjakan PHK pada 2025 adalah peringatan serius bahwa
ketahanan ekonomi Indonesia sedang diuji. Jika pemerintah hanya mengandalkan
narasi “pemulihan ekonomi” tanpa kebijakan konkret, maka dampaknya akan
menjalar menjadi masalah sosial yang lebih luas: kemiskinan, kriminalitas,
hingga instabilitas politik.
Pertanyaannya: apakah pemerintah cukup visioner untuk
menjadikan krisis ini sebagai momentum reformasi ketenagakerjaan? Ataukah kita
akan terus terjebak dalam lingkaran masalah yang sama setiap kali badai ekonomi
datang?
Jawabannya akan menentukan masa depan jutaan pekerja Indonesia.