Gelombang PHK 2025: Tanda Bahaya untuk Ketahanan Ekonomi Indonesia

Lonjakan PHK 2025 mengancam stabilitas ekonomi Indonesia, ribuan pekerja terdampak, solusi pemerintah dipertanyakan.


Jakarta, Interaksi Post - Kabar mengejutkan datang dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Sepanjang Januari hingga Juni 2025, sebanyak 42.385 pekerja di Indonesia menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Angka ini melonjak 32 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Fenomena ini muncul di tengah euforia pemulihan ekonomi pascapandemi dan klaim pemerintah soal pertumbuhan yang “stabil”. Namun, lonjakan PHK justru menjadi alarm bahaya tentang rapuhnya sektor ketenagakerjaan Indonesia.

Apakah ini hanya badai sesaat yang akan berlalu? Atau ini tanda retaknya fondasi ekonomi nasional yang terlalu bergantung pada sektor padat karya dan konsumsi?


Meningkatnya PHK dan Efek Domino Sosial

PHK massal bukan sekadar statistik dingin di meja birokrat. Setiap angka mewakili keluarga yang kehilangan penghasilan, anak-anak yang terancam putus sekolah, hingga potensi bertambahnya jumlah penduduk miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa setiap satu pekerja yang di PHK berdampak pada 3 hingga 4 anggota keluarga. Artinya, lebih dari 150 ribu orang turut merasakan efek domino dari lonjakan PHK di semester pertama 2025 ini.

Sektor manufaktur padat karya, seperti tekstil, garmen, dan alas kaki, menjadi yang paling banyak melakukan PHK. Industri ini selama bertahun-tahun menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja formal, namun kini dihantam turunnya permintaan ekspor dari Amerika Serikat dan Eropa. Inflasi tinggi di negara-negara tersebut membuat konsumsi menurun tajam, sementara industri Indonesia yang bergantung pada pesanan luar negeri terkena imbas langsung.

Sektor teknologi pun tak luput. Fenomena “tech winter” yang melanda dunia juga menyentuh Indonesia. Sejumlah startup besar mengumumkan pemangkasan karyawan sebagai respons atas anjloknya pendanaan modal ventura.

Di Jakarta, Andri (35), mantan pekerja garmen, mengaku kebingungan mencari pekerjaan baru setelah pabrik tempatnya bekerja tutup awal Juni. “Pabrik bilang order dari Eropa turun. Kami cuma disuruh pulang tanpa pesangon yang layak,” ujarnya kepada Kompas. Kisah serupa terjadi di banyak kota industri lain seperti Bandung, Semarang, dan Batam.

 

Akar Masalah: Badai Eksternal atau Rapuhnya Struktur?

Pemerintah menyebut melemahnya permintaan global sebagai biang keladi. Memang benar, faktor eksternal seperti perang Rusia-Ukraina yang berlarut-larut, inflasi global, dan pelemahan yuan China turut menekan industri ekspor Indonesia. Namun, di balik itu ada masalah domestik yang bersifat struktural.

Ekonomi Indonesia terlalu bergantung pada sektor padat karya dengan nilai tambah rendah. Ketika terjadi guncangan global, perusahaan-perusahaan sektor ini rentan melakukan PHK massal karena keterbatasan modal kerja. Selain itu, otomatisasi dan percepatan digitalisasi pascapandemi membuat ribuan pekerjaan menjadi usang, sementara program reskilling pemerintah masih minim.

Studi Bank Dunia (2024) menyebutkan bahwa 60% tenaga kerja Indonesia belum memiliki keterampilan digital dasar. Ini berarti mayoritas pekerja tidak siap menghadapi perubahan teknologi industri. Sementara itu, Undang-Undang Cipta Kerja yang diharapkan menyerap tenaga kerja justru menuai kritik. Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyebut fenomena PHK ini sebagai “buah pahit fleksibilitas tenaga kerja” yang terlalu memihak pengusaha.

Di sisi lain, nilai tukar rupiah yang melemah 8% terhadap dolar AS sepanjang semester pertama 2025 membuat biaya impor bahan baku meningkat. Banyak perusahaan kecil menengah tak sanggup menahan beban ini, sehingga PHK menjadi jalan pintas untuk bertahan hidup.

 

Belajar dari Negara Lain

Vietnam, pesaing utama Indonesia di sektor manufaktur, menunjukkan bahwa gelombang PHK bisa diredam dengan kebijakan strategis. Pemerintah Vietnam memberikan insentif pajak kepada perusahaan yang mempertahankan karyawan. Thailand menerapkan skema “work-sharing”, di mana pemerintah menanggung sebagian gaji karyawan untuk mencegah pemecatan massal.

Sementara itu, Jerman melalui program Kurzarbeit memberikan subsidi upah kepada perusahaan agar tetap mempertahankan pekerja meski jam kerja dikurangi. Program ini terbukti menjaga stabilitas sosial saat krisis finansial 2008 dan pandemi COVID-19.

Indonesia, sayangnya, masih terjebak dalam siklus reaktif: mengandalkan jaminan sosial minimal dan berharap situasi global segera membaik.

 

Saatnya Kebijakan Progresif

Untuk mencegah lonjakan pengangguran di semester kedua, pemerintah perlu meluncurkan paket kebijakan menyeluruh:

  1. Program Reskilling Nasional
    Mengalokasikan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk pelatihan ulang pekerja, terutama di sektor rawan PHK. Fokus pada keterampilan digital, industri ramah lingkungan, dan ekonomi kreatif.
  2. Subsidi Gaji atau Skema Work-Sharing
    Adopsi model Thailand atau Jerman untuk menjaga pekerja tetap memiliki penghasilan meski jam kerja dipangkas.
  3. Insentif Pajak dan Kredit Murah
    Berikan keringanan pajak bagi perusahaan yang tidak melakukan PHK serta akses kredit murah untuk modal kerja, terutama di industri strategis.
  4. Perluasan Jaring Pengaman Sosial
    Perkuat BPJS Ketenagakerjaan dan program bansos agar pekerja terdampak memiliki waktu untuk mencari pekerjaan baru tanpa jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem.

 

Momentum Reformasi atau Lingkaran Krisis?

Lonjakan PHK pada 2025 adalah peringatan serius bahwa ketahanan ekonomi Indonesia sedang diuji. Jika pemerintah hanya mengandalkan narasi “pemulihan ekonomi” tanpa kebijakan konkret, maka dampaknya akan menjalar menjadi masalah sosial yang lebih luas: kemiskinan, kriminalitas, hingga instabilitas politik.

Pertanyaannya: apakah pemerintah cukup visioner untuk menjadikan krisis ini sebagai momentum reformasi ketenagakerjaan? Ataukah kita akan terus terjebak dalam lingkaran masalah yang sama setiap kali badai ekonomi datang?

Jawabannya akan menentukan masa depan jutaan pekerja Indonesia.

Posting Komentar