Disini akan membahasa bagaimana keputusan itu lahir, apa konsekuensinya bagi Indonesia sebagai anggota baru BRICS, serta bagaimana dinamika ekonomi global kini digerakkan oleh ketegangan antar kekuatan besar.
Dengan menggabungkan data dari lembaga resmi seperti Tax Foundation dan Bank Dunia, serta sikap pemerintah Indonesia, pembahasan ini tidak hanya menyajikan laporan faktual tetapi juga membedahnya lewat analisis dan opini tajam.
Saat tarif berubah menjadi alat politik, bisakah dunia menjaga keseimbangan ekonomi tanpa harus tunduk pada satu poros saja?
Kebijakan Tarif Tambahan dan Latar Politiknya
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menciptakan gelombang besar dalam dinamika ekonomi global dengan menyatakan akan menetapkan tarif tambahan sebesar 10% terhadap negara-negara yang tergabung dalam BRICS.
Kebijakan ini diumumkan pada awal Juli 2025, menyusul kecemasan Washington terhadap semakin kuatnya upaya negara-negara BRICS untuk melepaskan ketergantungan terhadap dolar AS.
Dalam pernyataannya, Trump menyebut langkah ini sebagai “respon terhadap agresi ekonomi terhadap Amerika.” Ia juga menegaskan bahwa “siapa pun yang ikut dalam kebijakan de-dolarisasi harus bersiap membayar harga.”
BRICS dan Aspirasi Ekonomi Baru Dunia
BRICS yang kini mencakup Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, serta beberapa anggota baru seperti Indonesia dan Mesir, sedang berupaya membentuk sistem keuangan alternatif. Salah satu agenda utamanya adalah menciptakan mata uang bersama atau memperkuat transaksi lintas negara tanpa menggunakan dolar AS.
Bank Dunia mencatat bahwa negara-negara BRICS telah mengalami peningkatan volume perdagangan intra-blok sebesar 18% sejak 2022, dengan tren pembayaran dalam mata uang lokal juga meningkat. Hal ini tentu mengusik posisi dominan dolar AS dalam transaksi internasional.
Sebagai catatan, menurut data dari Boston Consulting Group (2025), rerata tarif yang dikenakan antar anggota BRICS berkisar di angka 8,4%, cukup tinggi dibandingkan dengan rerata negara OECD yang hanya sekitar 1,1%. Namun, nilai tukar yang lebih fleksibel dan kebijakan fiskal yang adaptif membuat blok ini tetap menarik bagi negara-negara berkembang.
Dampak Langsung terhadap Indonesia dan Negara BRICS Lainnya
Indonesia, sebagai anggota terbaru BRICS, menjadi salah satu negara yang terdampak langsung. Sebelumnya, Trump telah menetapkan tarif 32% terhadap beberapa komoditas ekspor Indonesia, termasuk produk tekstil dan elektronik ringan. Kini, dengan tambahan 10%, risiko pelemahan daya saing produk RI di pasar Amerika kian besar.
Menteri Sekretaris Negara Indonesia dalam pernyataannya menyebut langkah ini sebagai “konsekuensi dari pilihan strategis Indonesia untuk terlibat dalam arsitektur ekonomi global yang lebih inklusif.”
Bagi negara seperti Brasil, tarif tambahan ini juga memukul keras ekspor kopi mereka, yang selama ini mendominasi pasar Amerika. Akibatnya, harga kopi global dilaporkan naik signifikan, menurut data dari New York Post (Juli 2025), sebagai imbas dari hambatan pasokan dan ketidakpastian kebijakan dagang.
Di Balik Motif Trump: Ekonomi atau Politik?
Secara permukaan, tarif tambahan tampak seperti alat negosiasi dagang. Namun jika dikupas lebih dalam, langkah ini menyimpan dimensi politik yang tak kalah kuat. BRICS, dengan ambisinya membentuk sistem global yang lebih multipolar, jelas bertentangan dengan visi Trump tentang “America First” dan dominasi penuh atas ekonomi global.
Menurut Tax Foundation (2025), kebijakan tarif Trump secara keseluruhan termasuk tarif universal 10% dan tarif ekstra kepada “negara yang menantang dominasi dolar” berpotensi menambah penerimaan negara sebesar US$156 miliar atau sekitar 0,51% dari PDB AS. Ini bisa menjadi keuntungan jangka pendek secara fiskal, tapi membawa konsekuensi luas bagi stabilitas harga dan pasar tenaga kerja di sektor manufaktur AS.
Apakah Ini Strategi yang Efektif?
Melihat sejarah ekonomi, proteksionisme sering kali menciptakan efek domino yang sulit dikendalikan. Ketika AS menaikkan tarif, negara mitra dagang cenderung membalas. Brasil dan India, misalnya, sudah mulai mempersiapkan tarif balasan terhadap produk pertanian dan baja dari AS. Langkah ini dikhawatirkan akan membuka lembaran baru perang dagang yang lebih intens dibandingkan era 2018–2019.
Tak hanya itu, rantai pasok global yang selama ini begitu terintegrasi bisa terganggu. Produk elektronik, otomotif, bahkan bahan baku industri bisa mengalami kelangkaan atau kenaikan harga, memukul konsumen dari kelas menengah dan bawah di berbagai negara, termasuk AS sendiri.
Ketika Diplomasi Digeser oleh Tarif
Langkah Trump ini bisa dibilang sebagai kebijakan berani namun sembrono. Di satu sisi, ia mencoba memperkuat ekonomi domestik dan memaksa dunia kembali tunduk pada aturan main dolar. Di sisi lain, langkah ini justru mempercepat alasan negara-negara lain untuk mencari alternatif.
Indonesia, misalnya, selama ini bergulat dengan defisit transaksi berjalan. Keanggotaan dalam BRICS memberi ruang diplomasi dan ekonomi baru. Tapi jika itu dibayar dengan kehilangan akses pasar AS, pemerintah harus menyiapkan strategi baru, mulai dari diversifikasi pasar hingga penguatan produksi dalam negeri.
Sebagai warga dari negara berkembang yang sedang mencoba berdiri lebih tegak dalam kancah global, saya melihat kebijakan Trump ini sebagai alarm keras: bahwa perjuangan menciptakan tatanan ekonomi dunia yang lebih adil tidak akan pernah disambut hangat oleh mereka yang selama ini diuntungkan.
Amerika Serikat, terutama di bawah Trump, tampaknya ingin mempertahankan status quo dengan cara koersif, bukan melalui diplomasi dan persaingan sehat. Dunia seakan diminta memilih: ikut AS atau bersiap “dihukum”.
Dunia Butuh Aturan Baru, Bukan Tarif Baru
Konflik dagang memang bukan hal baru. Tapi ketika negara sebesar AS menjadikan tarif sebagai senjata politik luar negeri, kita patut khawatir. Dunia kini tengah berubah, dan perubahan itu tidak bisa dihentikan hanya dengan angka 10% di meja kebijakan.
Indonesia harus cerdas membaca peta ini. Kita tidak bisa berharap dunia kembali seperti dulu. Justru saat inilah, negara-negara seperti kita harus memperkuat fondasi dalam negeri, merawat kerja sama multilateral yang sehat, dan berani mengambil posisi meskipun itu berarti menghadapi tarif tambahan dari Gedung Putih.