Bukan
karena gedungnya tinggi atau mall-nya banyak. Tapi karena satu hal yang absurd:
jembatan di kota ini banyak, tapi sungainya nggak kelihatan.
Saya
nggak sendirian. Teman satu kampung yang kuliah di Jakarta juga sering bareng
saya pulang-pergi naik angkot. Waktu itu kami sama-sama masih hijau, baru
sebulan di ibu kota. Tapi rasa bingung kami sudah matang. Kami sering duduk di
bangku belakang angkot sambil menatap flyover tinggi yang dilewati kendaraan
tanpa tahu ujungnya mau ke mana. Dan paling aneh: nggak ada air di bawahnya.
Saya
langsung ngakak. Soalnya itu juga pertanyaan yang sudah lama saya tahan dalam
hati. Rasanya kayak nemu temen satu frekuensi di tengah kota yang doyan
nyambungin jalan dengan jembatan tapi nggak pernah nyambungin logika dengan
kenyataan.
Saya
pikir dia bercanda. Tapi makin lama tinggal di Jakarta, saya sadar: dia
nggak sedang bercanda. Dia sedang jujur.
Di
kampung, jembatan itu struktur sederhana yang punya fungsi jelas: menyambungkan
dua tepian sungai. Tapi di Jakarta, jembatan seringkali dibangun untuk
menyambungkan frustrasi para pengendara dengan harapan agar bisa sampai
tujuan tepat waktu. Atau lebih tragis lagi: menyambungkan satu titik macet
ke titik macet berikutnya dengan lebih lancar.
Jembatan Tanpa Sungai: Sebuah Fenomena Urban Penuh Filosofi
Setelah
bertahun-tahun kuliah dan hidup di Jakarta, saya akhirnya paham: jembatan di
kota ini bukan soal kebutuhan geografi, tapi lebih ke kebutuhan mental. Kota
ini stress, warganya lebih-lebih. Jadi dibutuhkan infrastruktur yang tidak
hanya menyambungkan jalur kendaraan, tapi juga memberi ilusi bahwa ada jalan
keluar.
Padahal
seringnya, setelah menyeberang flyover, yang ditemui bukan jalan lengang, tapi
kemacetan jenis baru. Kadang lebih parah, kadang lebih angkuh. Tapi tetap saja,
orang Jakarta akan naik ke jembatan itu, seperti ritual harian yang tak pernah
dipertanyakan maknanya.
Ini
semacam versi modern dari jalan menuju pencerahan tapi sayangnya,
pencerahan itu hanya berupa papan penunjuk arah ke putaran balik yang selalu
ramai.
Dari
Jembatan Menuju Realitas: Kota yang Tak Lagi Mengalir
Yang
menarik, kota ini juga seperti tidak terlalu peduli apakah sungainya masih ada
atau tidak. Bahkan kalaupun ada, sebagian besar sudah berubah fungsi jadi
selokan raksasa, pasar darurat, atau jalur tikus untuk motor. Sungai kehilangan
martabatnya. Jembatan pun kehilangan pasangannya.
Maka
tak heran kalau banyak jembatan akhirnya dibangun bukan untuk air yang
mengalir, tapi untuk lalu lintas yang tersendat. Seakan-akan kota ini
sedang berusaha mengalirkan kemacetan lewat beton, bukan lewat air.
Jembatan
pun jadi seperti metafora yang menyedihkan: dibangun tinggi-tinggi, tapi tidak
tahu pasti apa yang sebenarnya sedang diseberangi.
Kota yang Sibuk Menghubungkan Dirinya Sendiri
Saya
pernah iseng hitung, dalam perjalanan dari Cipayung ke Kuningan, bisa melewati lebih
dari tujuh jembatan. Tapi hanya satu yang punya sungai di bawahnya dan itu
pun airnya warna hitam pekat seperti kopi sachet yang diseduh asal-asalan.
Selebihnya? Jalan, jalan, dan jalan.
Jakarta,
dalam banyak hal, adalah kota yang terlalu sibuk membangun koneksi. Tapi
koneksi itu seringkali cuma antar jalan, bukan antar manusia. Kita semua sibuk
lewat jembatan, tapi lupa tanya: kita sebenarnya mau nyebrang ke mana?
Kadang
saya berpikir, mungkin suatu saat nanti kota ini akan membangun jembatan baru
yang menyambungkan satu lantai parkir ke parkiran lain. Bukan karena butuh,
tapi karena sudah terlanjur cinta dengan beton dan tiang pancang.
Epilog: Jembatan yang Tak Menyeberangkan Apa-Apa
Kini,
setelah sekian tahun, saya masih sering naik angkot. Dan tiap kali melewati
jembatan tanpa sungai, saya selalu ingat percakapan saya dan teman saya dari
kampung dulu. Obrolan polos yang kini terasa seperti kritik sosial yang dalam tentang
kota yang terlalu sibuk membangun tanpa sempat bertanya: untuk apa?
Jakarta
bukan kota tanpa jembatan. Jakarta justru kota yang terlalu banyak jembatan tapi
terlalu sedikit arah yang benar-benar jelas.
Dan mungkin, itulah sebabnya mengapa sebagian dari kita masih merasa tersesat, meski setiap hari sudah menyeberangi jembatan.