Pertama Kali ke Jakarta, Saya Heran: Banyak Jembatan tapi Sungainya Nggak Ada


Tahun 2013 saya pertama kali merantau ke Jakarta. Tujuannya kuliah, Lokasinya di Jakarta Timur, tepatnya daerah Bambu Apus, Cipayung. Sebagai anak kampung yang biasanya ngelihat jembatan cuma di atas sungai kecil penuh batu dan kodok, Jakarta langsung bikin saya syok.

Bukan karena gedungnya tinggi atau mall-nya banyak. Tapi karena satu hal yang absurd: jembatan di kota ini banyak, tapi sungainya nggak kelihatan.

Saya nggak sendirian. Teman satu kampung yang kuliah di Jakarta juga sering bareng saya pulang-pergi naik angkot. Waktu itu kami sama-sama masih hijau, baru sebulan di ibu kota. Tapi rasa bingung kami sudah matang. Kami sering duduk di bangku belakang angkot sambil menatap flyover tinggi yang dilewati kendaraan tanpa tahu ujungnya mau ke mana. Dan paling aneh: nggak ada air di bawahnya.

Satu hari, saat angkot kami lewat jembatan di sekitar Pondok Gede, teman saya nyeletuk dengan suara lirih tapi penuh perenungan,
“Eh, jembatan ini sebenernya buat nyebrangin apa, sih? Kenapa nggak ada sungainya?”

Saya langsung ngakak. Soalnya itu juga pertanyaan yang sudah lama saya tahan dalam hati. Rasanya kayak nemu temen satu frekuensi di tengah kota yang doyan nyambungin jalan dengan jembatan tapi nggak pernah nyambungin logika dengan kenyataan.

Karena makin penasaran, kami tanya ke teman sekelas yang asli Jakarta. Jawabannya santai banget, kayak udah hafal betul pola pikir absurd kota ini.
“Wah, itu mah bukan buat nyebrangin sungai, tapi buat nyebrangin macet.”

Saya pikir dia bercanda. Tapi makin lama tinggal di Jakarta, saya sadar: dia nggak sedang bercanda. Dia sedang jujur.

Di kampung, jembatan itu struktur sederhana yang punya fungsi jelas: menyambungkan dua tepian sungai. Tapi di Jakarta, jembatan seringkali dibangun untuk menyambungkan frustrasi para pengendara dengan harapan agar bisa sampai tujuan tepat waktu. Atau lebih tragis lagi: menyambungkan satu titik macet ke titik macet berikutnya dengan lebih lancar.

Jembatan Tanpa Sungai: Sebuah Fenomena Urban Penuh Filosofi

Setelah bertahun-tahun kuliah dan hidup di Jakarta, saya akhirnya paham: jembatan di kota ini bukan soal kebutuhan geografi, tapi lebih ke kebutuhan mental. Kota ini stress, warganya lebih-lebih. Jadi dibutuhkan infrastruktur yang tidak hanya menyambungkan jalur kendaraan, tapi juga memberi ilusi bahwa ada jalan keluar.

Padahal seringnya, setelah menyeberang flyover, yang ditemui bukan jalan lengang, tapi kemacetan jenis baru. Kadang lebih parah, kadang lebih angkuh. Tapi tetap saja, orang Jakarta akan naik ke jembatan itu, seperti ritual harian yang tak pernah dipertanyakan maknanya.

Ini semacam versi modern dari jalan menuju pencerahan tapi sayangnya, pencerahan itu hanya berupa papan penunjuk arah ke putaran balik yang selalu ramai.

Dari Jembatan Menuju Realitas: Kota yang Tak Lagi Mengalir

Yang menarik, kota ini juga seperti tidak terlalu peduli apakah sungainya masih ada atau tidak. Bahkan kalaupun ada, sebagian besar sudah berubah fungsi jadi selokan raksasa, pasar darurat, atau jalur tikus untuk motor. Sungai kehilangan martabatnya. Jembatan pun kehilangan pasangannya.

Maka tak heran kalau banyak jembatan akhirnya dibangun bukan untuk air yang mengalir, tapi untuk lalu lintas yang tersendat. Seakan-akan kota ini sedang berusaha mengalirkan kemacetan lewat beton, bukan lewat air.

Jembatan pun jadi seperti metafora yang menyedihkan: dibangun tinggi-tinggi, tapi tidak tahu pasti apa yang sebenarnya sedang diseberangi.

Kota yang Sibuk Menghubungkan Dirinya Sendiri

Saya pernah iseng hitung, dalam perjalanan dari Cipayung ke Kuningan, bisa melewati lebih dari tujuh jembatan. Tapi hanya satu yang punya sungai di bawahnya dan itu pun airnya warna hitam pekat seperti kopi sachet yang diseduh asal-asalan. Selebihnya? Jalan, jalan, dan jalan.

Jakarta, dalam banyak hal, adalah kota yang terlalu sibuk membangun koneksi. Tapi koneksi itu seringkali cuma antar jalan, bukan antar manusia. Kita semua sibuk lewat jembatan, tapi lupa tanya: kita sebenarnya mau nyebrang ke mana?

Kadang saya berpikir, mungkin suatu saat nanti kota ini akan membangun jembatan baru yang menyambungkan satu lantai parkir ke parkiran lain. Bukan karena butuh, tapi karena sudah terlanjur cinta dengan beton dan tiang pancang.

Epilog: Jembatan yang Tak Menyeberangkan Apa-Apa

Kini, setelah sekian tahun, saya masih sering naik angkot. Dan tiap kali melewati jembatan tanpa sungai, saya selalu ingat percakapan saya dan teman saya dari kampung dulu. Obrolan polos yang kini terasa seperti kritik sosial yang dalam tentang kota yang terlalu sibuk membangun tanpa sempat bertanya: untuk apa?

Jakarta bukan kota tanpa jembatan. Jakarta justru kota yang terlalu banyak jembatan tapi terlalu sedikit arah yang benar-benar jelas.

Dan mungkin, itulah sebabnya mengapa sebagian dari kita masih merasa tersesat, meski setiap hari sudah menyeberangi jembatan.

Posting Komentar