Interaksi
Post - Janji 19 juta lapangan kerja yang digaungkan Gibran
Rakabuming Raka dalam kampanye Pemilihan Presiden 2024 sempat menjadi magnet
optimisme di tengah kecemasan kaum muda terhadap masa depan. Namun kenyataan di
lapangan setahun setelahnya justru menghadirkan ironi. Alih-alih mendengar
kabar pembukaan jutaan lapangan kerja baru, masyarakat justru digempur oleh
gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang masif, terutama di sektor
industri manufaktur dan digital.
Fenomena
ini memunculkan pertanyaan penting: di mana letak keberpihakan kebijakan
ketenagakerjaan? Apakah janji itu sungguh memiliki rencana konkret, atau hanya
gimmick politik yang cepat basi begitu pemilu usai?
PHK: Dari Jawa Tengah hingga DKI Jakarta
Kementerian
Ketenagakerjaan mencatat lebih dari 26 ribu kasus PHK hingga pertengahan 2025.
Namun catatan serikat pekerja jauh lebih besar mereka menyebut lebih dari 70
ribu pekerja kehilangan pekerjaan dalam tiga bulan pertama tahun ini. Gelombang
pemangkasan tenaga kerja merata, dari pabrik garmen di Jawa Tengah, perusahaan
teknologi di Jakarta, hingga sektor ritel di kota-kota besar.
Dalam
catatan pemerintah, provinsi yang terdampak paling besar adalah Jawa Tengah,
DKI Jakarta, Riau, Jawa Barat, dan Banten. Sektor manufaktur, terutama tekstil
dan alas kaki, mendominasi daftar penyumbang PHK. Beberapa alasan yang disebut
antara lain efisiensi biaya, penurunan permintaan ekspor, relokasi pabrik ke
luar negeri, serta restrukturisasi pasca-otomatisasi produksi.
Sementara
itu, sektor teknologi mengalami tekanan akibat overinvestasi saat pandemi dan
lemahnya model bisnis. Sejumlah startup besar melakukan efisiensi besar-besaran
setelah gagal mendapatkan pendanaan lanjutan. Akibatnya, ribuan tenaga kerja
muda kehilangan pekerjaan meskipun baru direkrut beberapa bulan sebelumnya.
Pertumbuhan
Ekonomi yang Tidak Menyerap Tenaga Kerja
Ekonomi
Indonesia tetap tumbuh, tetapi daya serapnya terhadap tenaga kerja terus
menurun. Para ekonom mencatat bahwa satu persen pertumbuhan ekonomi kini hanya
menyerap sekitar seratus hingga seratus dua puluh ribu tenaga kerja. Padahal
pada era awal reformasi, angka serapan tenaga kerja bisa mencapai empat ratus
ribu per satu persen pertumbuhan.
Perubahan
struktur ekonomi menjadi penyebab utama. Sektor-sektor penyerap tenaga kerja
tinggi seperti pertanian dan manufaktur terus menyusut kontribusinya terhadap
Produk Domestik Bruto. Sebaliknya, sektor jasa, keuangan, dan teknologi yang
padat modal dan minim tenaga kerja semakin dominan.
Janji
19 juta lapangan kerja menjadi tidak logis dalam konteks ini. Jika dalam lima
tahun pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di kisaran lima persen per tahun,
maka total tenaga kerja baru yang terserap mungkin hanya mencapai tiga juta.
Artinya, dibutuhkan lompatan struktural luar biasa untuk mencapai target 19
juta yang dijanjikan.
Ketimpangan Antara Retorika dan Realita
Pemerintah
memang telah menggelontorkan sejumlah program padat karya, kredit usaha rakyat,
hingga insentif pajak bagi investor. Namun pendekatan ini tidak cukup menyentuh
akar masalah. Sebagian besar program disalurkan tanpa strategi integrasi
antarkementerian, dan minim evaluasi dampak ketenagakerjaan.
Yang
lebih mengkhawatirkan, sebagian dana justru diarahkan ke program populis yang
belum tentu berdampak pada penciptaan kerja. Misalnya, proyek makan bergizi
gratis dan koperasi digital masih berjalan dalam skala kecil tanpa target
penyerapan tenaga kerja yang jelas.
Sementara
itu, pengembangan pendidikan vokasi, pelatihan kerja, dan inkubator wirausaha
belum mendapat porsi anggaran yang signifikan. Padahal, tanpa penguatan
kualitas SDM, lapangan kerja hanya akan terbatas pada sektor informal dan upah
rendah.
Dampak
Sosial dari PHK
PHK
bukan sekadar angka. Ia adalah tragedi ekonomi rumah tangga. Banyak keluarga
kehilangan sumber pendapatan utama. Daya beli menurun, kredit macet meningkat,
dan angka kepercayaan diri kaum muda terhadap masa depan menurun drastis.
Dalam
situasi ini, pemerintah terlihat tidak cukup tanggap. Belum ada skema bantuan
tunai langsung atau program tunjangan pengangguran yang terstruktur. Layanan
konseling dan pendampingan karier juga belum tersedia secara luas. Banyak
mantan pekerja hanya diberi pesangon seadanya lalu dibiarkan kembali ke desa
tanpa jaminan kejelasan hidup.
Jalan
Keluar: Dari Janji ke Aksi
Pemerintah
tidak bisa lagi berlindung di balik narasi pertumbuhan dan investasi. Saat ini,
yang dibutuhkan adalah langkah-langkah nyata dan terukur:
Pertama,
fokuskan investasi pada sektor padat karya. Sektor tekstil, alas kaki,
pertanian modern, dan industri daur ulang bisa menjadi solusi jangka pendek
untuk menyerap tenaga kerja besar. Pemerintah perlu memberikan insentif fiskal
dan kemudahan regulasi kepada pelaku usaha di sektor ini.
Kedua,
perkuat ekosistem pelatihan kerja. Dana pendidikan vokasi harus ditingkatkan
secara drastis. Kemitraan dengan industri wajib diperluas agar pelatihan
relevan dengan kebutuhan pasar. Lulusan SMK dan perguruan tinggi harus mendapat
jalur cepat ke dunia kerja.
Ketiga,
bangun sistem perlindungan pekerja yang kuat. Tunjangan pengangguran, pelatihan
ulang, dan sistem penempatan kerja harus terintegrasi dalam platform nasional.
Negara harus hadir melindungi mereka yang terdampak restrukturisasi ekonomi.
Keempat,
buka ruang partisipasi publik. Pemerintah perlu melibatkan serikat buruh,
organisasi pengusaha, dan akademisi dalam merumuskan kebijakan ketenagakerjaan.
Dialog sosial harus menjadi mekanisme utama dalam menghadapi krisis lapangan
kerja.
Akuntabilitas dan Kepercayaan Publik
Janji
menciptakan 19 juta lapangan kerja bukan sekadar angka dalam brosur kampanye.
Ia adalah kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat. Jika janji itu tidak
ditepati, maka kepercayaan publik akan tergerus.
Wakil
presiden sebagai pihak yang mengusung janji itu memiliki tanggung jawab moral
dan politik untuk menyampaikan laporan progres secara berkala. Apa saja program
yang dijalankan, berapa lapangan kerja yang telah diciptakan, dan bagaimana
pengawasan terhadap hasilnya. Publik berhak tahu.
Sampai
saat ini, belum ada paparan resmi tentang peta jalan penciptaan 19 juta
pekerjaan itu. Bahkan nomenklatur programnya pun belum jelas. Tanpa
transparansi, publik akan menilai bahwa janji itu tidak lebih dari ilusi
elektoral.
Antara Janji dan Kenyataan
Gelombang
PHK yang terus berlangsung adalah cermin retak dari wajah pembangunan ekonomi
Indonesia. Ia memperlihatkan bahwa pertumbuhan yang tinggi tidak selalu membawa
kesejahteraan. Ia juga menjadi pengingat bahwa janji tanpa strategi hanya akan
melahirkan kekecewaan.
Pemerintah
harus segera beranjak dari wacana ke tindakan. Fokus bukan lagi pada
pencitraan, tetapi pada penciptaan kerja yang konkret, berkelanjutan, dan
bermartabat. Generasi muda tidak bisa terus menunggu. Masa depan mereka terlalu
penting untuk digadaikan pada janji yang tak kunjung ditepati.