Memang sih, kita nggak dengar langsung dari darat. Tapi bagi mamalia laut, ini kayak hidup di kos-kosan yang dindingnya tipis dan tetangganya punya band metal. Tidur susah, ngobrol susah, cari makan pun kacau. Lama-lama stres, dan kalau udah stres, ya sama kayak kita: bisa mogok makan, murung, bahkan… tersesat.
Laut Sudah Tidak Sunyi Lagi: Ketika Paus Pun Butuh Psikiater
Kalau selama ini kita cuma tahu "horeg" dari pesta kampung yang bikin ibu-ibu sakit kepala dan bapak-bapak gagal tidur siang, sekarang mari kita kenalan dengan versi maritimnya: sound horeg laut. Sebuah istilah yang terdengar kocak, tapi efeknya sama sekali tidak lucu. Bayangkan paus yang stres, lumba-lumba depresi, bahkan ikan buntal yang pengen ngebatin karena nggak tahan dengan kebisingan sonar kapal dan suara mesin pengeboran minyak. Miris? Tentu. Konyol? Jelas. Tapi inilah kenyataan laut kita hari ini.
Laut Bukan Lagi Rumah yang Tenang
Paus, lumba-lumba, hingga aneka mamalia laut lainnya hidup dan berkembang biak di lingkungan yang mengandalkan suara. Mereka ngobrol pakai sonar, bercanda pakai klik-klik, bahkan mencari jodoh pakai frekuensi tertentu. Intinya: mereka hidup dalam harmoni akustik. Tapi semua itu kini berubah gara-gara manusia yang makin hobi bikin bising.
Aktivitas sonar militer, lalu lintas kapal tanker, kapal pesiar, sampai pengeboran minyak, semuanya menghasilkan suara yang, kalau dianalogikan, setara dengan pesta hajatan nonstop selama 24 jam tapi di bawah laut. Menurut laporan NOAA Ocean Noise Strategy Roadmap tahun 2016, suara bawah laut telah meningkat drastis sejak 1950-an. Yang dulunya laut itu sunyi syahdu, sekarang jadi seperti terminal bus malam sebelum Lebaran.
Mamalia laut yang awalnya hanya butuh suara untuk komunikasi kini harus menghadapi “serangan suara”. Mereka jadi linglung, sulit bernavigasi, kehilangan kawanan, bahkan terdampar di pantai seperti mahasiswa semester tua yang kehilangan arah hidup.
Paus Butuh Terapi?
Studi terbaru dari Proceedings of the Royal Society B (2022) menyebutkan bahwa kebisingan bawah laut bisa memicu stres kronis pada paus dan lumba-lumba. Ini bukan stres ecek-ecek, tapi stres level “mau kabur dari rumah” karena kebanyakan suara keras. Efeknya bukan cuma telinga berdengung, tapi juga perubahan perilaku, penurunan tingkat reproduksi, hingga kematian dini.
Tahu kan kalau paus itu nggak bisa beli Panadol Extra atau konsultasi ke psikolog? Jadi ya mereka cuma bisa berenang sambil gelisah, berputar-putar tanpa arah, atau yang paling tragis: menepi dan mati dalam diam.
Salah satu laporan International Whaling Commission (IWC) tahun 2020 bahkan mencatat meningkatnya fenomena “mass stranding” mamalia laut terdampar dalam jumlah besar, yang diyakini terkait dengan ledakan sonar atau suara eksplorasi laut. Laut yang dulu jadi rumah kini berubah jadi sumber trauma. Laut bukan lagi tempat aman, tapi zona perang suara.
Fatwa Haram dan Kebisingan Laut
Di Indonesia, kebisingan laut ini nggak cuma jadi masalah lingkungan, tapi juga moral dan spiritual. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Fatwa No. 11 Tahun 2014 secara eksplisit menyatakan bahwa merusak ekosistem laut, termasuk dengan suara bising, hukumnya haram.
Yes, haram. Jadi, kalau kamu masih menganggap kerusakan laut itu urusan aktivis atau pemerintah doang, kamu salah. Ini sudah masuk ke ranah ibadah. Menjaga laut bukan sekadar gaya hidup hijau, tapi kewajiban spiritual. Kata MUI, laut adalah amanah Ilahi, dan merusaknya berarti mengkhianati titipan Tuhan dan masa depan generasi selanjutnya.
Jadi kalau ada yang nyinyir bilang “ah, paling paus juga cuek”, coba suruh dia baca fatwa ini dulu.
Ketika Negara Cuek, Siapa yang Peduli?
Sayangnya, di negeri kita yang lautnya kaya ini, kebijakan soal kebisingan laut masih belum kedengaran (ironis, ya?). Sonar militer masih dipakai semaunya, eksplorasi minyak jalan terus, kapal wisata pakai mesin bising tanpa filter. Yang penting turis senang, investor datang, paus stres? Ah, nanti juga ngilang sendiri.
Indonesia seharusnya bisa jadi pionir perlindungan akustik laut di Asia Tenggara. Tapi apa daya, regulasi masih ompong dan penegakan hukum sering kalah cepat sama kapal pesiar. Ini belum termasuk wisata bahari yang nyetel musik jedag-jedug di tengah laut, karena, ya, katanya biar vibes nya dapet. Vibes buat siapa? Ikan pari?
Peran Kita: Dari Serius Sampai yang Receh
Kalau kita pikir “yah, aku kan cuma orang biasa, bukan menteri lingkungan hidup”, itu benar. Tapi bukan berarti nggak bisa berbuat apa-apa. Mengurangi kebisingan laut memang butuh kebijakan besar, tapi kesadaran kolektif juga penting.
Mulai dari hal sepele kayak:
• Jangan buang sampah plastik ke sungai (ujung-ujungnya ke laut juga),
• Dukung kampanye pelestarian laut,
• Jangan pakai sound system di kapal nelayan kayak mau konser,
• Edukasi diri soal pentingnya suara bagi makhluk laut.
Jangan cuma sibuk pakai totebag dan sedotan stainless tapi masih nyetel lagu kencang waktu naik banana boat.
Laut yang Tenang adalah Hak, Bukan Kemewahan
Paus dan lumba-lumba nggak bisa demo ke Balai Kota. Mereka nggak bisa ngetweet “tolong stop sonar militer, kita pusing”. Tapi kita bisa. Kita yang punya suara untuk menyuarakan hak-hak mereka.
Kutipan dari Dr. Sylvia Earle, tokoh konservasi laut dunia, sangat relevan di sini:
“No water, no life. No blue, no green.”
Kalau laut rusak, semua akan kena imbasnya. Tidak ada laut yang sehat, maka tak ada bumi yang layak ditinggali.
Laut yang sunyi adalah hak mamalia laut. Kita cuma numpang wisata dan nyari makan di sana. Maka semestinya kita belajar lebih banyak mendengar daripada terus-terusan bersuara. Apalagi suara yang nggak penting-penting amat.
Yang Tidak Sunyi
Laut hari ini tidak lagi tenang. Mamalia laut bukan hanya harus menghindari plastik, tapi juga menghindari kebisingan manusia yang makin tak tahu batas. Di tengah euforia “ekonomi biru” dan jargon-jargon pembangunan kelautan, jangan sampai kita lupa bahwa laut bukan cuma sumber cuan, tapi juga rumah bagi makhluk hidup lain.
Jangan biarkan paus-paus itu kehilangan arah karena kita lebih mementingkan dentuman daripada keheningan. Mari jaga laut, mulai dari suara kita sendiri.
