Jakarta, Interaksi Post - Dalam peta geopolitik global saat ini, tanah jarang atau rare earth menjadi komoditas strategis yang tidak hanya menentukan arah teknologi dunia, tetapi juga menjadi penentu posisi tawar sebuah negara di kancah internasional. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan cadangan tanah jarang terbesar di dunia, kini kembali menjadi perhatian Amerika Serikat.
Ketertarikan Amerika ingin tanah jarang Indonesia bukan semata demi kerja sama
ekonomi, melainkan bagian dari strategi besar dalam menyeimbangkan dominasi
China di pasar mineral kritis global.
Tanah
jarang merupakan kelompok 17 unsur logam yang memiliki peran penting dalam
industri teknologi tinggi seperti pembuatan kendaraan listrik, turbin angin,
chip semikonduktor, hingga sistem persenjataan canggih. Bagi negara-negara
besar, penguasaan rantai pasok tanah jarang adalah bagian dari perlombaan
pengaruh global di abad ke-21.
Ketergantungan Global pada China dan Celah untuk Indonesia
Saat
ini, sekitar 85 persen pemrosesan tanah jarang dunia dikuasai oleh China. Hal
ini menciptakan kekhawatiran mendalam di kalangan negara-negara Barat, terutama
Amerika Serikat, karena ketergantungan tersebut dinilai mengancam stabilitas
industri strategis mereka. Dalam beberapa tahun terakhir, Washington mulai
membangun kemitraan baru dengan negara-negara yang memiliki cadangan besar,
termasuk Indonesia.
Berdasarkan
data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki
potensi cadangan tanah jarang yang cukup besar, terutama di Bangka Belitung,
Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan beberapa wilayah lain. Kandungan logam
seperti yttrium, lanthanum, dan cerium dapat diekstraksi dari tailing tambang
timah maupun nikel, dua sektor yang sudah lama menjadi tulang punggung
pertambangan nasional.
Amerika
ingin tanah jarang Indonesia karena letaknya yang strategis, sumber daya yang
melimpah, dan peluang besar untuk membangun rantai pasok baru yang lebih
terdiversifikasi. Namun, apakah Indonesia siap memanfaatkan peluang ini tanpa
mengorbankan kedaulatan dan lingkungan?
Kebutuhan Amerika dan Agenda Geopolitik
Ketertarikan
Amerika Serikat bukan sekadar peluang investasi. Di balik tawaran kerja sama,
terdapat agenda geopolitik besar yang ingin mengurangi ketergantungan pada
China. Pemerintah AS, melalui undang-undang seperti Inflation Reduction Act dan
berbagai insentif lain, mendorong agar bahan baku industri hijau dan militer
mereka bersumber dari negara-negara sekutu.
Dengan
demikian, kemitraan dengan Indonesia menjadi bagian dari strategi jangka
panjang AS untuk memperkuat basis industrinya, sekaligus menjaga posisi
dominannya dalam persaingan teknologi global. Dalam beberapa bulan terakhir,
telah muncul sejumlah kesepakatan awal antara perusahaan AS dan mitra di
Indonesia untuk menjajaki pembangunan fasilitas pemurnian dan pengolahan tanah
jarang.
Namun
pertanyaannya, apakah Indonesia mendapatkan nilai tambah yang cukup dalam kerja
sama tersebut? Apakah transfer teknologi, kendali atas sumber daya, dan
pembangunan kapasitas lokal benar-benar menjadi bagian dari kesepakatan?
Hilirisasi vs Ekstraksi Mentah
Pemerintah
Indonesia telah lama menyuarakan pentingnya hilirisasi sumber daya alam.
Langkah berani seperti larangan ekspor bijih nikel telah membuktikan dampak
positif dalam mendorong investasi industri dalam negeri. Tantangannya kini
adalah bagaimana menerapkan pendekatan serupa pada komoditas tanah jarang.
Jika
tanah jarang kembali diekspor dalam bentuk mentah dengan harga rendah,
Indonesia hanya akan menjadi penyedia bahan baku murah tanpa kendali atas
rantai nilai. Padahal, nilai ekonomi tertinggi dari tanah jarang terletak pada
pengolahannya menjadi material siap pakai untuk baterai, chip, dan magnet
industri.
Amerika
ingin tanah jarang Indonesia sebagai bagian dari ekosistem industrinya, tetapi
belum tentu mereka siap menyerahkan teknologi kunci atau kepemilikan mayoritas
dalam proyek bersama. Di sinilah pemerintah perlu menetapkan syarat tegas:
setiap kerja sama harus melibatkan pembangunan fasilitas dalam negeri, transfer
pengetahuan, dan penguatan industri lokal.
Dampak Sosial dan Lingkungan
Eksploitasi
sumber daya alam di Indonesia sering kali menimbulkan kerusakan lingkungan dan
konflik sosial. Tanah jarang, meskipun bernilai tinggi, memiliki proses
ekstraksi dan pemurnian yang sangat berisiko terhadap lingkungan jika tidak
dilakukan dengan teknologi yang tepat.
Beberapa
kasus di Tiongkok menunjukkan bagaimana limbah radioaktif dan air asam tambang
merusak ekosistem dan meracuni masyarakat sekitar. Indonesia harus belajar dari
pengalaman tersebut dan menetapkan standar lingkungan yang tinggi sebelum
mengizinkan eksploitasi besar-besaran.
Lebih
dari itu, keterlibatan masyarakat lokal, izin berbasis persetujuan bebas dan
informasi awal (FPIC), serta jaminan hak atas tanah adat harus menjadi bagian
dari desain kebijakan. Tanah jarang tidak boleh menjadi kutukan baru di tengah
kekayaan alam Indonesia.
Tantangan Regulator dan Kapasitas Industri
Salah
satu kendala utama dalam mengelola tanah jarang adalah keterbatasan teknologi
dan kapasitas industri dalam negeri. Saat ini, Indonesia belum memiliki
fasilitas pemurnian skala besar yang dapat mengekstraksi logam tanah jarang
secara efisien dan ramah lingkungan. Ketergantungan pada teknologi asing
menjadi tantangan yang harus diatasi melalui kebijakan jangka panjang.
Selain
itu, kerangka regulasi yang mengatur pertambangan dan perdagangan tanah jarang
masih relatif lemah. Belum ada instrumen hukum khusus yang menetapkan batas
ekspor, insentif hilirisasi, atau peta jalan pengembangan tanah jarang
nasional. Tanpa regulasi yang kuat, Indonesia berisiko kehilangan kendali atas
sumber daya strategis ini.
Antara
Kedaulatan dan Kolaborasi Strategis
Amerika
ingin tanah jarang Indonesia karena kebutuhan akan pasokan stabil, bersih, dan
terdiversifikasi untuk mendukung industrinya. Bagi Indonesia, ini adalah
peluang langka untuk memainkan peran lebih besar dalam geopolitik ekonomi
global. Namun, peluang ini tidak datang tanpa risiko.
Jika
tidak dikelola dengan hati-hati, Indonesia bisa kembali terjebak dalam pola
lama: menjual murah bahan mentah dan menanggung dampak lingkungan serta sosial.
Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa kerja sama dengan Amerika
atau pihak mana pun harus mengedepankan nilai tambah, kedaulatan industri, dan
keberlanjutan lingkungan.
Tanah
jarang bukan sekadar logam langka. Ia adalah simbol masa depan industri dan
posisi tawar suatu bangsa. Keputusan hari ini akan menentukan apakah Indonesia
menjadi pemilik masa depan itu, atau hanya penyedia bahan mentah bagi ambisi
negara lain.